SELAMAT DATANG DI BLOG ANNA ^_^
KEBUDAYAAN
INDONESIA
NUSA TENGGARA TIMUR
A. Pengertian
Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari
kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan
sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya,
serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.
B. Salah Satu Contoh
Kebudayaan Indonesia
Kebudayaan daerah tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap
daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Berikut adalah salah satu
contoh kebudayaan yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur.
- Upacara Adat
Upacara Adat Reba diselenggarakan
khususnya di beberapa
daerah di Kabupaten Ngada, NTT. Reba merupakan
upacara adat yang bertujuan untuk melakukan
penghormatan dan ucapan rasa terima kasih
terhadap jasa para leluhur.Upacara ini diadakan setiap tahun baru tepatnya
di bulan Januari
atau Februari dengan hidangan utama berupa
ubi. Bagi warga Ngada ubi diagungkan sebagai sumber makanan yang tidak pernah
habis disediakan oleh bumi. Selama upacara diselenggarakan
tarian dengan penari menggenggam pedang panjang (sau) dan tongkat warna-warni
yang di bagian ujungnya dihiasi bulu kambing warna putih (tuba). Sebagai
pengiring tarian adalah alat musik bergesek berdawai tunggal yang terbuat dari
tempurung kelapa atau labu hutan. Upacara adat Reba biasanya
diselenggarakan selama tiga sampai empat hari. Sebelum upacara tari-tarian dan
nyanyian diadakan misa inkulturasi di gereja yang dipimpin seorang pater atau
romo. Upacara ini memang memadukan unsur adat dengan agama.
Upacara Adat
- Rumah Adat
Rumah temukung termasuk dalam kategori rumah
panggung. Rumah yang bentuknya empat persegi panjang ini bagian-bagiannya ada
yang bermakna filosofis dan ada yang non-filosofis (fungsional belaka). Bagian-bagian
itu adalah: atap, bangngu (balok lok bubungan), tiang-tiang gela yang berfungsi
sebagai penopang bangngu, dinding, pintu, tangga, dan kelaga (balai-balai).
Untuk lebih jelasnya, berikut ini bagian-bagian itu akan diuraikan satu-persatu.
Rumah Temukung
Atap
Atap rumah temukung menyerupai
perahu yang terbalik. Oleh karena itu, Orang Sabu menyebut atap rumah temukung
sebagai “atap perahu terbalik”. Bentuk atap yang menyerupai perahu terbalik ini
sangat erat kaitannya dengan kehidupan mereka yang selalu berhubungan dengan
laut (tidak dapat dipisahkan dari laut). Dalam kehidupan sehari-hari, perahu
tidak hanya sekedar sebagai alat transportasi ke dan dari pulau-pulau yang ada
di sekitarnya, tetapi juga sebagai alat untuk mencari ikan dan sekaligus
sebagai tempat berlindung di lautan. Mengingat bahwa perahu demikian berartinya
bagi Orang Sabu, maka ketika mereka membuat rumah, atapnya dibuat menyerupai
perahu (perahu yang terbalik). Ini adalah simbol bahwa kehidupan mereka tidak
lepas dari laut. Malahan, bukan atap rumah saja, menyebut suatu kampung atau
kumpulan kampung pun dengan istilah ree kowa (kampung perahu).
Balok
Lok Bubungan
Istilah lain yang sering
digunakan oleh Orang Sabu untuk menyebut balok lok bubungan adalah “bangngu”.
Bangngu sangat erat kaitannya dengan atap karena ukuran atap ditentukan oleh
bagian ini. Bentuk bangngu pada tipe rumah temukung dan rumah biasa dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: ammu ae roukoko (bangngu yang sama ukurannya dengan
badan rumah) dan ammu iki (bangngu yang ukurannya 3/5 dari panjang badan
rumah)2). Bangngu ini dipasangi kayu-kayu yang posisinya menurun ke arah
samping kiri dan kanan sampai ke tepi tiris, sehingga bentuknya menyerupai segi
tiga. Kayu-kayu tersebut oleh mereka disebut worena (usuk besar). Dalam sebuah
rumah, baik temukung maupun rumah biasa, jumlahnya selalu ganjil. Sebutan untuk
jumlah worena dalam sebuah rumah sesuai dengan bahasa deret hitung mereka.
Jadi, jika jumlah worenanya ada tiga buah, maka disebut “wo tallu”; jika ada
lima buah disebut “wo pidu”; jika ada tujuh buah disebut “wo heo”; dan
seterusnya.
Di atas worena dipasangi
kayu-kayu yang arahnya melintang. Kayu-kayu ini oleh Orang Sabu disebut “reng”
atau “badu”. Jumlah badu yang ada dibagian
depan rumah selalu ganjil (9, 11, dan 21), sedangkan
yang ada di bagian belakang rumah selalu
genap (10,12, dan 22). Ganjil dan genapnya jumlah
badu mengandung makna tersendiri. Ganjil merupakan
simbol: kiri, belakang, adik, dan perempuan. Sedangkan, genap merupakan simbol:
kanan, depan, kakak, dan laki-laki. Artinya, dalam struktur sosial masyarakat
Sabu seorang kakak laki-laki mempunyai kedudukan dan peranan yang penting, baik
dalam keluarganya maupun masyarakatnya.
Tiang-tiang Rumah Temukung/Gela
(Tiang Penopang Bangngu)
Jumlah gela ada dua buah. Satu
ada di ujung kiri dan satunya lagi ada di ujung kanan bangngu. Di antara kedua
gela itu ada ruang terbuka (kosong). Orang Sabu menyebut ruang itu “roa ammu”.
Gela biasanya terbuat dari kayu kola, kayu merah, kayu jati, kayu pohon lontar,
kayu pohon kelapa, ajumaddi (kayu hitam) dan aju bahhi (kayu besi). Kayu
lainnya dianggap kurang baik.
Selain gela yang berfungsi
sebagai penopang bangngu ada tiang-tiang yang fungsinya untuk menopang atap
secara keseluruhan. Jumlahnya sekitar 8--10 buah. Tiang-tiang yang jenis
kayunya sama dengan gela dibentuk bulat dengan panjang kurang lebih 3 sampai 4
meter. Ujungnya dibentuk runcing, sedangkan pangkalnya dipotong rata. Ujungnya
yang runcing itu dimasukkan pada lubang yang dibuat pada kebie (balok
penindas), sedangkan pangkalnya ditanamkan dalam tanah. Tiang-tiang tersebut
ada yang ditanamkan dalam tanah (geri) dan ada yang ditumpukan di atas balok
(tiang-tiang yang terdapat di gela). Di antara tiang-tiang itu ada dua tiang
yang oleh Orang Sabu dianggap sebagai “tarru” (tiang utama), yaitu “tarru duru”
(tiang laki-laki/tiang haluan) dan “tarru wui” (tiang perempuan/tiang buritan).
Agar kedua tiang utama itu, satu dengan lainnya tidak kelihatan, maka dibuatkan
dinding pemisah. Ini penting karena menurut mereka tarru duru tidak boleh
“terlihat“ oleh taru wui.
Sementara itu,
tiang-tiang lainnya, seperti tiang-tiang penyangga loteng dan tiang penyangga
balok-balok lainnya diberi nama menurut pembagian utama dalam rumah temukung,
yaitu duru dan wui. Sedangkan, tiang penyangga yang melebar ke tiris, dinamakan
hubu (moncong). Tiang moncong itu sendiri ada yang disebut “moncong duru” dan
“moncong wui”. Ujung duru maupun wui dibuat agak melengkung. Bentuk seperti ini
oleh mereka disebut “tebakka”. Fungsinya sebagai “jalan nafas” rumah.
Lepas dari masalah pemasangan dan
penamaan dari berbagai tiang yang
terdapat pada rumah temukung, yang
jelas bahwa pembulatan dan peruncingan
tiang tidak hanya sekedar bagian dari teknologi
tradisional yang mereka terapkan dalam pembuatan
sebuah rumah temungkus. Akan tetapi, ada
makna simbolik yang mengacu pada pandangan tentang
alam semesta yang bersifat dikotomis. Dalam
konteks ini tiang yang berbentuk bulat bol perempuan.
Kelaga
(Balai-balai)
Orang Sabu menyebut lantai rumah
temukung sebagai kelaga (balai-balai). Kelaga terbagi dalam tiga bagian, yaitu:
kelaga rai (balai-balai tanah), kelaga ae (balai-balai besar) dan kelaga dammu
(balai-balai loteng). Bagian-bagian tersebut sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan mereka tentang dunia. Menurut mereka “dunia” terbagi dalam tiga
bagian, yaitu: rai dida-liru bala (dunia para dewa), rai wawa (dunia manusia),
dan rai menata (dunia para arwah).
Kelaga rai terdapat di sepanjang
sisi bagian depan atau bagian kanan rumah3). Kelaga yang ketinggiannya dari
permukaan tanah sekitar 0,50--0,75 meter ini terbagi dalam dua bagian, yaitu:
kelaga rai duru dan kelaga rai wui. Kelaga rai duru adalah kelaga yang berada
di bagian kiri rumah yang disimbolkan sebagai “laki-laki”. Oleh karena itu,
kelaga ini hanya untuk menerima tamu laki-laki. Sedangkan, kelaga rai wui
adalah bagian kelaga yang disimbolkan sebagai “perempuan”. Kelaga ini disamping
untuk menerima tamu perempuan, juga digunakan untuk bekerja (menganyam atau
menenun).
Kelaga ae yang merupakan
balai-balai besar terletak di atas balok-balok utama. Kelaga yang ketinggiannya
sekitar 1,00--1,50 meter dari permukaan tanah ini juga terbagi atas dua bagian:
duru (laki-laki) dan wui (perempuan). Di dalam kelaga ae ini ada empat balok
utama (ae) yang menopang kelaga dammu (balai-balai loteng). Kelaga ini biasanya
digunakan sebagai tempat makan bagi para anggota rumah maupun tamu. Dan, sama
seperti kelaga rai, kaum laki-laki akan makan di bagian duru, sedangkan kaum
perempuan akan makan di bagian wui.
Kelaga dammu (balai-balai loteng)
terletak di bagian wui rumah. Kelaga ini tertutup dengan tabir yang terbuat
dari ketangan rohe (daun kelapa), sehingga terlindung dari pengelihatan
orang-orang yang duduk di bagian “lelaki”. Kelaga ini digunakan untuk menaruh
barang yang berkaitan dengan “urusan” perempuan (benang, alat ikat, tenun dan
lain sebagainya). Hanya kaum perempuan, termasuk Inna Ammu (isteri kepala rumah),
yang boleh memasukinya. Kekhususan inilah yang kemudian membuahkan ungkapan
bahwa kelaga dammu adalah wewenang kaum perempuan.
Selain ketiga kelaga tersebut di
atas, ada sebuah kelaga lagi yang dinamakan kelaga ruuhu (balai-balai rusuk).
Kelaga ini letaknya sejajar dengan bagian tengah rumah temukung. Diantara
kelaga dan ruang tengah diberi dinding (sekat), sehingga tidak terlihat dari
bagian wui maupun duru rumah. Kelaga ruuhu ini pada bagian wui-nya digunakan
untuk melakukan kegiatan memasak serta menyimpan alat-alat dapur. Tempat
tersebut, oleh orang Sabu, disebut “koppo”.
Pintu
Orang Sabu menyebut pintu rumah
temukung sebagai kelai. Bentuknya segi empat. Secara keseluruhan, jumlah pintu
rumah temukung ada empat, yaitu: kelai duru (pintu anjungan), kelai wui (pintu
buritan), kelai koppo (pintu kamar), dan kelai dammu (pintu loteng). Ukuran
setiap pintu bergantung dari ukuran rumah itu sendiri. Meskipun demikian, pada
umumnya berukuran: panjang sekitar 1,30-1,75 meter dan lebar 0,70-0,90 meter.
Di masa lalu pintu terbuat dari anyaman daun lontar. Namun, dewasa ini jarang
ditemukan karena sebagian besar sudah menggunakan kayu.
Berdasarkan cara membuka dan atau
menutupnya, pintu rumah temukung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: kelai
ketode (pintu tolak gantung), kelai nyaka (pintu tolak) dan kelai moda (pintu
putar). Kelai ketode adalah pintu yang dibuka dengan cara ditolak ke atas dan
hanya terdapat di bagian loteng rumah (kelaga dammu). Kemudian, kelai moda
adalah pintu yang cara buku-tutupnya dengan memutarnya. Sedangkan, kelai nyaka
dibuka dengan cara mendorong ke sisi kiri maupun kanan. Pintu ini terdapat pada
anjungan dan wui (buritan) rumah.
Tangga
Tangga rumah temukung berbentuk
segi empat. Jumlah anak tangganya bergantung tinggi-rendahnya tangga (pada
umumnya berketinggian sekitar 0,50–0,60 meter). Tangga ini kebanyakan digunakan
untuk naik ke loteng (kelaga dammu) atau untuk naik ke balai-balai besar,
khususnya jika panjang balai-balai tanah tidak mencapai daerah pintu. Meskipun demikian,
ada juga yang tidak menggunakan tangga untuk naik ke balai-balai besar (kelaga
ae) karena di bawah pintu anjungan sudah ada balai-balai tanah sebagai tempat
berpijak.
Dinding
Posisi dinding tegak lurus
(menempel pada ujung kelaga ae). Ujung dinding bagian bawah lebih rendah
sedikit dari kelaga ae, sedangkan ujung dinding bagian atas berakhir di bawah
kabie. Dinding tersebut didirikan mengelilingi bagian tengah rumah
(mengelilingi kelaga ae dan kelaga ruuhu). Untuk bagian atas (dammu) hanya
disekat dengan ketangga robe (tutup gesek) yang dibuat dari daun kelapa.
Letaknya yang ada di tengah-tengah atap sekaligus berfungsi sebagai tabir
(pembatas antara loteng dan ruang atap duru (anjungan). Tabir ini juga
berfungsi sebagai pemisah antara atap duru dan wui. Motif hiasan yang terdapat
dalam tabir biasanya berupa meander atau tanaman menjalar.
- Tarian
Tari Perang, tari yang menunjukkan sifat-sifat
keperkasaan dan kepandaian mempermainkan senjata. Senjata yang dipakai berupa
cambuk dan perisai.
Tari Perang
Tari Gareng Lameng,
dipertunjukkan pada upacara khitanan. Tari ini berupa ucapan selamat serta
mohon berkat kepada Tuhan agar yang dikhitan sehat lahir batin dan sukses dalam
hidupnya.
Tari gareng Lameng
- Lagu
Lagu daerah yang berasal dari
propinsi NTT : Anak Kambing Saya, Oras, Loro Malirin, Sonbilo, Tebe Onana,
Ofalangga, Do Hawu, Bolelebo, Lewo Ro Piring Sina, Bengu Re Le Kaju, Aku
Retang, Gaila Ruma Radha, Desaku, Flobaroma, Potong Bebek Angsa.
- Alat Musik
Sasando, Gong, Tambur, Juk Dawan,
Gitar Lio merupakan nama-nama alat musik yang berasal dari NTT. Salah satu
musik yang banyak di kenal masyarakat umum di Indonesia tentang alat musik yang
ada di Nusa Tenggara adalah Sasando. Alat musik ini adalah sebuah alat
instrument petik musik. Asal dari Instrument musik dari pulau Rote, Nusa
Tenggara Timur.
Sasando
- Pakaian Adat
Seni tenun di Nusa Tenggara Timur
konon sudah ada pada masa sebelum ditemukannya serat kapas, pada masa itu
masyarakat Suku Rote menenun dengan menggunakan bahan serat dari sejenis pohon
palem seperti lontar dan gewang. Barang-barang yang dihasilkan dari bahan
tenunan tersebut antara lain kain yang disebut lafe tei, kemudian dipakai
menjadi busana sehari-hari. Setelah serat kapas masuk ke Nusantara, masyarakat
Rote beralih menenun kapas. Tetapi, ada yang masih tersisa dari lafe tei hingga
sekarang, yaitu topi khas Rote yaitu ti’i langga, yaitu penutup kepala yang
berbentuk mirip dengan topi sombrero dari Meksiko.
Ti’langga merupakan aksesoris
dari pakaian tradisional untuk pria Rote. Tetapi pada saat-saat tertentu,
misalnya pada saat menarikan tarian tradisonal foti, perempuan menggunakan
penutup kapala ini.
Ti’i langga terbuat dari daun
lontar yang dikeringkan. Karena sifat alami daun lontar yang makin lama makin
kering, maka ti’i langga pun akan berubah warna dari kekuningan menjadi makin
cokelat. Bagian yang meruncing pada topi tersebut makin lama tidak akan tegak,
tetapi cenderung miring dan sulit untuk ditegakan kembali. Konon hal tersebut
melambangkan difat asli orang Rote yang cenderung keras. Selain itu, ti’i
langga juga merupakan simbol kepercayaan diri dan wibawa pemakainya.
Selain itu, bagi pria, baju adat
rote berupa kemeja berlengan panjang berwarna putih polos. Tubuh bagain bawah
ditutupi oleh sarung tenun berwarna gelap, kain ini menjuntai hingga menutupi
setengah betis. Motif dari kain ini bermacam-macam, bisa berupa binatang,
tumbuhan yang ada tersebar di di kawasan Nusa Tenggara Timur. Dari motif yang
nampak dari kain tenun tersebut dapat dilihat daerah asal pembuatan kain tenun
tersebut.
Sebagai aksesoris sehelai kain
tenun berukuran kecil diselempangkan di bagian bahu. Motifnya serasi dengan
kain tenun pada sarungnya. Selain itu, sebilah golok juga diselipkan di
pinggang depan.
Untuk wanita, biasanya mengenakan
baju kebaya pendek dan bagain bawahnya mengenakan kain tenun. Salah satu motif
yang sering digunakan untuk menghiasi pakaian adat ini adalah motif pohon
tengkorak.
Sebagai pelengkap, sehelai
selendang menempel pada bahunya. Rambut dianggul dan memakai hiasan berbentuk
bulan sabit dengan tiga buah bintang. Hiasan tersebut disebut bulak molik.
Bulan molik artinya bulan baru. Hiasan ini terbuat biasanya terbuat dari emas,
perak, kuningan, atau perunggu yang ditempa dan dipipihkan, kemudian dibentuk
sedemikian rupa hingga menyerupai bulan sabit.
Selain itu, Aksesoris lainnya
adalah gelang, anting, kalung susun (habas), dan pending. Kalung susun atau habas
terbuat dari emas atau perak yang merupakan warisan turun-temurun dari sebuah
keluarga suku Rote. Terkadang, ada yang menanggap bahwa habas merupakan benda
keramat yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Selain habas, aksesoris lainnya
adalah pending. Pending merupakan perhiasan yang terbuat dari kuningan,
tembaga, perak dan emas dan biasa dipakai di bagian pinggang. Motif yang sering
muncul sebagai hiasan pending adalah motif bunga atau hewan unggas.
Pakaian Adat
- Makanan Khas
1. Se'i Babi
Se'i adalah makanan khas Nusa
Tenggara Timur yang cukup banyak ditemukan di jalan-jalan. Se'i adalah daging
yang dimasak dengan cara diasap, dicampur dengan garam, dan rempah-rempah.
2. Catemak Jagung
Catemak jagung adalah makanan
penutup yang terbuat dari jagung, labu lilin, dan kacang hijau yang dimasak
dengan bumbu masak penyedap rasa. Tidak seperti warnanya yang manis seperti
kolak, catemak rasanya asin.
3. Lawar Sarden
Lawar adalah sambal khas Nusa
Tenggara Timur. Lawar sarden terbuat dari cabai, bawang, garam, dan sarden
mentah.
Se’i Babi, Catemak Jagung, & Lawar Sarden
Sumber :
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Menarik dan lengkap banget, ijin share ya ...salam..
Halo, saya juga salah satu pemerhati budaya Indonesia, silakan kunjungi blog saya di indraekspresi.blogspot.com
Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !
Posting Komentar